Oleh : Dr. Ragil Ibnu Hajar, SH.M.Kn
Pengamat Hukum dan Akademisi
Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2025 menjadi ruang refleksi penting bagi Indonesia untuk menilai efektivitas agenda pemberantasan korupsi yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade. Sejumlah capaian telah diraih, tetapi tidak sedikit pula tantangan yang mengemuka. Pertanyaannya sederhana: apakah pemberantasan korupsi masih berada pada jalur yang benar?
Mandat Awal dan Tugas KPK
Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui UU No. 30 Tahun 2002 merupakan bentuk koreksi negara terhadap lemahnya penanganan korupsi pada masa sebelumnya. Melalui UU No. 19 Tahun 2019, kewenangan KPK mengalami sejumlah penyesuaian, namun mandat dasarnya tetap sama: memastikan korupsi ditangani sebagai kejahatan luar biasa.
KPK memegang lima fungsi utama, yakni pencegahan, koordinasi, supervisi, monitoring, serta penyelidikan–penyidikan– penuntutan. Kelima fungsi ini dirancang sebagai satu kesatuan. Meski demikian, dalam praktik publik lebih sering menilai KPK melalui kinerja penindakan, padahal pencegahan merupakan fondasi yang tidak kalah penting.
Jatuh-Bangun Lembaga Antikorupsi
Dalam dua dekade terakhir, perjalanan KPK memperlihatkan dinamika yang signifikan. Kita mengenal masa ketika KPK berani membongkar korupsi politik tingkat tinggi, menindak aparat negara, dan memenangkan kepercayaan publik melalui kinerja yang konsisten.
Namun sejumlah perkembangan dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas KPK. Revisi undang-undang, penguatan struktur pengawasan, serta dinamika internal berpengaruh pada fleksibilitas lembaga ini. Di sisi lain, beberapa perkara strategis dihentikan atau kandas di praperadilan, meskipun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menyatakan adanya kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor.
Situasi tersebut memperlihatkan tantangan struktural dalam sistem hukum kita, khususnya pada hubungan antara temuan audit, proses penyidikan, dan mekanisme praperadilan.
Memperkuat Pencegahan sebagai Strategi Utama
Menurut hemat saya, fokus pemberantasan korupsi harus kembali menempatkan pencegahan sebagai prioritas utama. Hal ini penting karena beberapa alasan.
Pertama, karakter korupsi semakin kompleks, melibatkan jejaring aktor lintas sektor yang tidak mudah diputus hanya dengan penindakan. Kedua, penindakan yang tidak sinkron dengan temuan kerugian negara hanya menambah ketidakpastian hukum. Ketiga, pencegahan memberikan efek jangka panjang melalui perbaikan tata kelola, digitalisasi layanan publik, dan transparansi perizinan.
Pencegahan tidak boleh berhenti pada kampanye moral, melainkan harus bertransformasi menjadi instrumen yang sistematis dan terukur.
SDA dan Urgensi Sinergitas KPK–BPK
Salah satu sektor yang paling rawan dan berpotensi merugikan negara dalam jumlah besar adalah pertambangan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA). Korupsi pada sektor ini kerap berjalan simultan dengan kerusakan lingkungan, mulai dari deforestasi, pembukaan lahan ilegal, hingga penambangan tanpa izin.
Modus yang muncul bukan perkara kecil: manipulasi volume, penyelundupan hasil tambang, penerbitan izin yang bermasalah, serta kolusi antara oknum pejabat, aparat, dan pelaku usaha. Kerugian negara tidak hanya bersifat fiskal, tetapi juga ekologis dan sosial.
Padahal, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Korupsi di sektor SDA berarti merampas hak generasi mendatang.
Karena itu, sinergi BPK dan KPK harus diperkuat. BPK perlu memastikan audit sektor SDA lebih cepat, detail, dan berbasis teknologi, sementara KPK menindaklanjuti temuan tersebut dengan langkah hukum yang konsisten dan berani. Integrasi data nasional terkait produksi, PNBP, dan perizinan menjadi prasyarat penting dalam membangun transparansi sektor SDA.
Penutup
Refleksi Hakordia 2025 mengajarkan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan arah yang jelas. KPK perlu mengembalikan orientasinya pada cita-cita awal: independen, efektif, dan berorientasi kepentingan publik. Pencegahan harus diperkuat, sinergi antar-lembaga harus ditingkatkan, dan kelemahan sistem hukum—termasuk celah praperadilan—perlu ditinjau ulang.
Indonesia membutuhkan pemberantasan korupsi yang berkelanjutan, melampaui kepentingan jangka pendek, dan mengutamakan masa depan bangsa.(***)




